Ada pekat menggeliat
di pucuk-pucuk dahan pintu kamarku.
Tanpa cahaya, dari tingkap-tingkap
yang bermuram durja.
Apalah kehangatan?
Sunyi, sedan, dan pahit ruam
telah kupaksakan,
untuk kuterima sepenuhnya,
untuk kunikmati seutuhnya.
Lihatlah pagi yang menggeriap.
Mendung telah menghapusnya,
dari juta daftar periang hati.
Mungkin ia telah malu-malu sembunyi.
Tak ingin basah oleh kisah,
tak ingin kalah oleh tumpah.
Biarlah, ia nikmati periuk nasi,
sampai senjanya sendiri.
Aku tertemani bulir,
menganak kali di ujung jari.
Mengerjap, dan jatuh lagi.
Apa pasal? Tak ada.
Hanya jiwaku yang kubiarkan rapuh.
Ditampar waktu yang tak jua
menyembuhkan pilu.
Dan tiba-tiba aku cemburu,
pada tawa dan senyuman.
Ragu menyesak di penuh tanda tanya : Akankah?
Biarlah, kan kuseret sendiri
koper-koper perih ini.
Kan kuhempas,
pada jurang terdalam,
pada waktu paling malam,
dan pada rindu paling kelam.
~saat membayangkan luka, semoga tak kurasakan
No comments:
Post a Comment