Thursday, April 14, 2011

Melankolia Kita

Doa itu sudah kutitipkan.
Pada sayapsayap senja. Sore tadi.
...dan berpilinlah dua doa ke langit tertinggi,
tempat dua hati melabuhkan sepi.

Langit bertanya, apa yang kau minta?
Lalu kujawab, cinta-Nya dalam setiap detik usia.
..dan bertemu sebelah jiwa agar din ini menjadi sempurna.



*) lagi, sebuah balas-membalas kata bersama Mba Ajeng. Saya membuat dua baris pertama di tiap bait, dan Mba Ajeng sisanya. Melankolia kita...

Monday, April 11, 2011

Apakah Doa?

Apakah Doa?
Saat kata berubah cahaya.
Melesat.
Menuju-Nya.

Saturday, April 9, 2011

Semoga...

Semoga Dia memberimu keberanian
Untuk mengatakan kebaikan
Lalu tersenyum, karena ia sudah tertunaikan
Biarlah hasil akhir pada-Nya diserahkan...

Semoga Dia memberiku kekuatan
Untuk tetap bertahan
Mesti perih sedu sedan
Tapi apa yang lebih indah dari perjuangan?

Semoga Dia memberi kita kesempatan
Untuk saling berdekatan
Berlabuh pada tepi-tepi malam
Lalu bersama mengucap doa dalam-dalam...

Sunday, April 3, 2011

Hujan Pertama di Bulan April

Hujan pertama di bulan April
Masih tersisa senyummu di sela rintiknya
Juga kebersamaan, yang terasa menentramkan

Bukan langit pekat yang kuharapkan,
cukuplah gerimis yang meneduhkan
Lalu biar kusesap, bau tanah setelah hujan

Apakah di tempatmu,
ada melankolia yang sama?

Ini hujan pertama di bulan April
Tepat setelah langit kembali cerah,
aku menitip harap...

...agar pelangi itu segera datang.

Dear Matahari...

Dear Matahari,

Bagaimana kabarmu di sana? Semoga bahagia, bersama cahaya kebaikan yang setia menemani, hingga akhir nanti. Aku tak bosan meminta pada-Nya agar kelak kita menikmati surga-Nya bersama. Aku menyayangimu, meski itu jarang sekali keluar dari ucapanku, dulu.

Aku semakin dewasa sekarang. Apa kau bisa lihat aku? Aku bukan lagi anak kecil yang merengek minta dibelikan jajan, atau remaja yang minta kau jemput setiap pulang. Tapi aku masih ingin sekali...kau acak-acak rambutku, lalu kau gandeng sepanjang perjalanan menuju rumah.

Apa impian-impianmu, Matahari? Maafkan, bila aku tak pernah sekalipun bertanya tentang itu. Yang aku tahu, kaulah orang pertama yang selalu berusaha mewujudkan mimpi-mimpi kami. Mengantarkan kami pada sesuatu bernama keberanian. Lalu membiarkan kami sendiri menemukan jalan, sambil kau pandang dari kejauhan. Maka masih saja senyummu membekas, dan bau keringatmu menempel di sepanjang langkah kami.

Malam terakhir bersamamu, itulah saat terakhir pula aku melihat tawamu. Ah, mengapa aku tak jua menyadari saat-saat kau melemah. Genggamanmu yang tak sekuat dulu saat menggandeng tanganku. Kerutan di wajahmu yang kian bertambah setiap waktu. Maafkan...

Terima kasih, Matahari. Bagi kami, sinarmu tak pernah padam. Bahkan pada saat langit paling kelam.