Friday, July 29, 2011

Sebuah Catatan Akhir Bulan

Ada tanggaltanggal yang merasa
harus kau kejar. Saat tibatiba ruangan
menggigil, lalu bermenit menyekap
waktu. Ini, katamu, sesuatu yang harus
kau beri tanda. Titik. Atau koma.

Ada lingkaranlingkaran almanak yang
tiba-tiba mengejekmu. Merepih perihmu.
Mengajakmu tertawa, dengan air mata.
Lalu menggamit lengan waktu
dengan paksa. Apalah? Bagaimanalah?

Mungkin artinya;

Ada harihari di mana kau harus
lebih giat mencinta. Ditemani sedikit
goresan pensil warna pelangi. Biar
musnah semua pepat penat. Dan senyum
melahirkan gema. Dengar. Dan rasakan.

; karena sesuatu itu, membuatnya berbeda.

Monday, July 18, 2011

Ini Untuk Kita, Sayang

Ramadhan tak akan menunggumu, Sayang. Ia akan berlari begitu saja, bila kau tak bersiap mengucap salam padanya, dan mengajaknya berbincang. Ia hanya akan memeluk, hatihati yang tunduk.

Ramadhan tak akan menantimu, Sayang. Sinarnya akan datang secepat kilat. Dan hanya menerobos jendelajendela yang bening. Tak dapatlah ia menembus kekarat yang menguning, atau debu yang menebal di sepanjang kalbu.

Malam ini rembulan penuh.
Menyisakan waktu yang tinggal separuh.
Jua membagi cahyanya pada jiwajiwa yang kumuh.
: adakah itu, kita?


--------------------------
Bandung, Pertengahan Sya'ban
Pengingat diri, yang belum jua tunai bersiap...

Allohumma balighna fii Ramadhan,
Marhaban Yaa Ramadhan...

Pagi yang Mendung di Stasiun Bandung

: lepas subuh
Waktu merentangkan tangannya lebarlebar. Ia biarkan
jarak menjadi sabar. Menghitung detik demi detiknya
dalam kisah yang terpapar.

(1)
Aku lihat kepala stasiun tersenyum. Mungkin ingat
doa yang fajar tadi terlantun.
Atau gaji ketigabelas yang sebentar lagi tiba.
Meski merubah nasib begitu berat adanya. Ah, biarlah katanya.
Syukur bisa merubah segala.
Gerimis manis menjadi melodis,
dan sumbing sumbang menjadi terkenang.

(2)
Dari pintu loket sempat kusapa engkau.
Duhai yang menyajikan sedap pandang mata. Di antara
semburat jingga matahari pagi. Itu
dirimu yang mengecup mimpi.
Dalam degub takjub, ada nama-Nya yang
selalu kau katup. Alangkah bangganya yang
tertitip rizki di sela jemarimu.
Harum aroma dari pintu ke pintu.

(3)
Di tepi antara jalur dan lajur. Kupegang karcisku
eraterat. Arahku bukan menuju
kota impian. Hanya sebuah percik perjalanan.
Tempat aku menitipkan tenang.
Di antara kata gamang. Lalu kusesap
lamatlamat udara itu. Udara yang kelak
akan membuatku kembali pulang,
ke rindumu

(4)
Kereta bergerak dan berhenti.
Sebagian membawa hatiku pergi. Sebagian
kutinggalkan di kota ini.
Di mana kota idaman?
Di hati kita, katamu.
Dan aku tak pernah percaya.
Hingga pagi ini,
aku terhenti sampai di sana.

-------------
inspired by Suatu Siang di Stasiun Juanda by Salman Rafan
(http://topenkkeren.multiply.com)

Saturday, July 9, 2011

Laki-laki Pemberani Itu...

Bismillah...

Memilikimu adalah anugerah bagiku. Seseorang yang memanggilku dengan panggilan hormat. Siap menemani di saat butuh tempat untuk sekadar didengarkan. Atau mempercayakan sepercik rahasia kecilmu padaku. Itu, sudah cukup membuatku merasa berharga.

Irikah aku padamu? Mungkin sempat. Tapi kini lebih sering kebanggaanku padamu yang meluap-luap. Atau kepercayaanku yang meningkat berlipat. Ini bukan hanya tentang rentang usia yang Ia amanahkan padamu, tapi mendewasanya engkau dengan langkah yang nyata. Meski mungkin sesekali terjatuh. Ah, bukankah jatuh itu adalah hal yang biasa?

Apa yang bisa kubayangkan, saat lelaki mungil yang baru saja lulus dari seragam putih biru harus menanggung beban sebagai laki-laki satu-satunya di dalam rumah?

Tak terbayangkan olehku.

Tapi kulihat kau dengan berani menegapkan bahu, lalu melangkah maju. Merelakan kemampuan terbaikmu untuk pergi sementara. Ah, aku begitu khawatir. Bukankah itu masa-masa istimewamu sebagai remaja? Masihkah engkau merasa cerianya?

Lalu kali kedua kau bilang pada bunda, "Tak usah Bunda, simpan saja...sayang uangnya." Itu saat kau mau mendaftar di perguruan tinggi yang kau cita. Bunda yang tak rela, seperti juga aku, bila kau mengabaikan mimpi-mimpimu. Maka bertarunglah kau dengan berani, dan apapun hasilnya...bukankah Dia sebaik-baik pemberi keputusan?

Matematika kita takkan pernah berhasil menghitung angka-angka kehidupan. Matematika-Nya lah yang sempurna. Saat Ia menyempurnakan ikhtiarmu, maka sekali lagi : melangkahlah kau dengan berani.

Yang kau ukir itu cinta, Sayang. Senyum bahagia yang tak pernah lepas dari wajah Bunda saat ia mengingat di mana kau menjejakkan kaki hari ini. Harapan Bunda jua. Kau penuhi dengan sederhana. Sesederhana berjuang dengan sungguh, lalu menyerahkan pada Alloh hasil akhirnya. Bukankah itu sejatinya sederhana?

Melihatmu, yang mencintai apa yang kau kerjakan saat ini adalah kebanggaan terbesarku. Menjadi tegar, menjadi lebih berani. Dan memaknai tanggung jawab dengan lebih sempurna. Makin dekat pada-Nya. Makin dekat pada-Nya.

Sembilan belas tahun ini menjadi saksi, betapa beraninya dirimu menghadapi hidup. Terima kasih telah begitu tegar dan sabar. Terima kasih telah berusaha yang terbaik untuk selalu menyemai pelangi di hati Bunda dan hati orang-orang yang kau cinta.

Terima kasih, telah berusaha menjadi adik yang baik untuk Teteh dan Eni. Juga kakak yang baik untuk Adek. Dan anak laki-laki yang paling membanggakan untuk Papah dan Mamah...

Selamat milad, Abangku Sayang.
Adik laki-laki pemberaniku sepanjang masa...
Semoga Alloh senantiasa memberi keberkahan di setiap langkah usia...
Menjadikan Abang seseorang yang menebar manfaat bagi sesama...
Tetaplah menjadi Abang yang luar biasa :')
Amiiin Ya Robbal 'Alamiiin...



-----------------
jelang tujuh juli, miladnya yang kesembilan belas...
...laki-laki pemberani itu adalah adikku