Monday, July 18, 2011

Pagi yang Mendung di Stasiun Bandung

: lepas subuh
Waktu merentangkan tangannya lebarlebar. Ia biarkan
jarak menjadi sabar. Menghitung detik demi detiknya
dalam kisah yang terpapar.

(1)
Aku lihat kepala stasiun tersenyum. Mungkin ingat
doa yang fajar tadi terlantun.
Atau gaji ketigabelas yang sebentar lagi tiba.
Meski merubah nasib begitu berat adanya. Ah, biarlah katanya.
Syukur bisa merubah segala.
Gerimis manis menjadi melodis,
dan sumbing sumbang menjadi terkenang.

(2)
Dari pintu loket sempat kusapa engkau.
Duhai yang menyajikan sedap pandang mata. Di antara
semburat jingga matahari pagi. Itu
dirimu yang mengecup mimpi.
Dalam degub takjub, ada nama-Nya yang
selalu kau katup. Alangkah bangganya yang
tertitip rizki di sela jemarimu.
Harum aroma dari pintu ke pintu.

(3)
Di tepi antara jalur dan lajur. Kupegang karcisku
eraterat. Arahku bukan menuju
kota impian. Hanya sebuah percik perjalanan.
Tempat aku menitipkan tenang.
Di antara kata gamang. Lalu kusesap
lamatlamat udara itu. Udara yang kelak
akan membuatku kembali pulang,
ke rindumu

(4)
Kereta bergerak dan berhenti.
Sebagian membawa hatiku pergi. Sebagian
kutinggalkan di kota ini.
Di mana kota idaman?
Di hati kita, katamu.
Dan aku tak pernah percaya.
Hingga pagi ini,
aku terhenti sampai di sana.

-------------
inspired by Suatu Siang di Stasiun Juanda by Salman Rafan
(http://topenkkeren.multiply.com)

No comments:

Post a Comment