Tuesday, November 1, 2011

Berbeda yang Biasa



Tawaran itu datang lagi. Dan kali ini reaksi saya masih sama : hanya bisa tersenyum. Kaget? Pastinya. Tapi satu hal membuat saya kembali menguasai diri. Ini ujiannya. Dan ini yang harus saya hadapi. Melewatinya berkali-kali dengan hal yang berbeda pula membuat saya merasa lebih kuat kali ini.

Sungguh saya memahami. Ini kondisi berbeda tidak seperti yang orang-orang lain miliki. Dan saya hanya ingin tetap bersyukur untuk itu. Bersyukur masih diberikan-Nya kesempatan untuk terus bersiap dengan lebih baik, lebih paripurna. Bersyukur ditunjukkan-Nya secara nyata bahwa begitu banyak orang yang perhatian kepada saya, begitu banyak yang siap menggenggam saat akan terjatuh, begitu banyak yang siap memeluk saat butuh kehangatan. Alhamdulillah.

Apakah saya ragu? Hmm...selalu ada yang membisikan ragu. Tapi saat mengingat kembali Yang Utama yang harus diingat, hati saya kembali kuat. Mengapa harus ragu kepada sesuatu Yang Pasti?

Sudah saya bilang, beban ini kini bertambah. Saya harus kembali dengan bahu yang memperkuat dirinya. Dengan hati yang lebih siap menerima. Tangan yang harus lebih sering berdoa. Dan kaki yang tak pernah lelah melangkah. Tak perlu kecewa jika sudah terbaik berusaha. Tak perlu bersedih bila sudah sepenuh peluh bersungguh.

Saya hanya bertanya-tanya : Apakah ini sebuah kesalahan?

Semoga tidak. Dan semoga yang terbaik untuk orang-orang yang saya sayangi.

Saya sudah terbiasa menerima bahwa saya berbeda. Melihat yang lain merekahkan senyumnya, sedang saya hanya bisa memandang mereka dari kejauhan, itu sudah biasa. Sedari dulu bahkan. Ini hanya beda yang biasa lainnya. Dan pasti akan berakhir, dan membuat lebih kuat. Lebih berani.

Oiya, saya pun ikut bahagia melihat mereka. Sungguh.

Betapa baiknya nurani selalu mengingatkan saya untuk tidak berandai-andai, dan itu melegakan. Senyum malaikat bernama Bunda masih terasa, dan itu juga jauh membuat lebih melegakan. Pasti akan indah, pada akhirnya.

Terasa ya? Perjuangan itu. Subhanalloh...betapa dulu saya hanya menyimak, lalu terkadang memberi komentar yang tak jua membaikkan. Jadi merasa bersalah. Bahwa 'belum saatnya' itu terkadang menjadi sesuatu yang mudah diucapkan tapi terkadang begitu sulit diterima dan dipahami. Maafkan...

Lalu mengapa saya menulis ini? Sebagai penyembuh. Bukan dari sakit, tapi dari retak-retak kecil yang sepertinya butuh perekat lagi. Agar lebih tegar menghadapi. Agar lebih berani melangkahkan kaki.

Alloh, terima kasih...ini lebih dari cukup.

3 comments:

  1. klo dilihat dari sudut pandang "nikah"
    ada kalimat yng mengarahkan nmun ada juga yg bertolak belakang

    apapun itu, apapun nanti, segala hal yang diniatkan hanya untuk Allah, dengan cara yg benar, selalu indah

    ReplyDelete
  2. @ all : should i reply this comments? i don't think so...
    but, thanks for reading my abstract writings ya.

    ReplyDelete